Keluargaku Bahagia......

Daisypath Anniversary Years Ticker

Senin, 28 April 2008

Penerimaan Siswa Baru

Minggu-minggu kemarin sekolahku sedang disibukkan dengan rangkaian penerimaan siswa baru. Seleksi sudah selese hari Minggu kemarin. Hufh...lumayan melelahkan, tapi subhanallah, ketika melihat para calon murid baru yang imut dan lucu-lucu, kelelahan kami seolah terobati. Terbayang dalam benak kami kalo mereka adalah generasi penerus kita yang harus dibekali dengan ilmu dan akhlaq yang baik tuk masa depan kelak. Kami para ustadz/ah pun senantiasa terus memupuk semangat dan bersungguh-sungguh dalam rangkaian penerimaan siswa baru ini. Bagaimanapun juga Allah menilai usaha/proses yang kita lakukan. Semoga dengan kesungguhan ini kami bisa menuai generasi terbaik harapan umat.

Kisah Muridku

Kemarin ada cerita dari wali murid yang lucu. Sebenarnya sudah sering sih ada cerita-cerita menarik kayak gini dari orang tua, tapi unik aja. Ima kan wali kelas 4, dan kami di sekolah udah mulai dibudayakan untuk tidak bersalaman/bersentuhan dengan yang bukan muhrim sejak kelas 3. Beberapa dari murid-muridku itu udah mulai baligh (yang muslimah). Yah..mungkin anak jaman sekarang, gizinya udah beda ma anak jaman dulu. Beberapa juga, terutama yang muslimah, sudah mulai menampakkan tanda-tanda puber walau baru sedikit.

Seorang wali murid bercerita kalo anaknya sekarang, gak mau berangkat les dibonceng motor berdua di belakang sama temen-tetangganya yang biasanya berangkat bareng. Dia ngotot gak mau karena ga mau bersentuhan sama yang bukan muhrim. Alhasil...si Ibu bengong...anak kecil kok ya udah kayak gitu, padahal waktu si Ibu kecil dulu gak segitunya deh. Tapi kemudian si Ibu tersadar bahwa hal itu bagus, setidaknya sudah sedari dini anaknya tahu akan syariat Islam dalam bergaul dengan lawan jenis. Tinggal dipupuk dan diberi contoh yang baik biar istiqomah kata dia. ”Anak kecil aja udah bisa ya ustadzah, orang gede tapi masih pacaran, pegangan tangan, bahkan ciuman sama yang bukan muhrimnya, harusnya malu tuh sama anak saya!” celetuk Si Ibu.

Waktunya Silmi Makan…..!

Silmi dah mau 6 bulan, seminggu ini dia mencoba untuk makan pendamping ASI untuk pertama kalinya. Untuk minggu-minggu awal ini sampai satu bulan ke depan sesuai anjuran di buku yang ima baca(karangan dosen alumni GMSK IPB), dikasih bubur buah aja dulu. Alhamdulillah Silmi mau makan dengan lahap dan BABnya lancar. ASI eksklusif selama 6 bulan agak berkurang 1 minggu coz Silmi dah keburu pengen makan n umi ga sabar ngeliat Silmi kelaparan kalo pas ditinggal umi ngajar ga pulang-pulang istirahat buat nyusuin. Tapi ASI masih tetep lancar, tinggal ngelanjutin. Alhamdulillah Silmi ga begitu sensitif sama makanan, semua buah yang dicobain dia lahap sekali makannya. Umi emang berkomitmen setelah ASI eksklusif, Silmi harus makan buatan sendiri, gak beli kemasan, biar yang alami-alami aja. Ternyata bikin makanan buat Silmi nyiapinnya gampang kok, gak ribet-ribet amat. So....Ayo Silmi, makan yang banyak biar jadi muslimah yang sehat dan kuat, pintar, sholihah...!Kan Umi berikan apapun yang terbaik buat Silmi!

Minggu, 27 April 2008

MENJADI APAPUN DIRIMU

Menjadi karang-lah, meski tidak mudah. Sebab ia ’kan menahan sengat binar mentari yang garang. Sebab ia ’kan kukuh halangi deru ombak yang kuat menerpa tanpa kenal lelah. Sebab ia ’kan melawan bayu yang keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang coba membekukan. Sebab ia ’kan menahan hempas badai yang datang menggerus terus-menerus dan coba melemahkan keteguhannya. Sebab ia ’kan kokohkan diri agar tak mudah hancur dan terbawa arus. Sebab ia ’kan berdiri tegak berhari-hari, bertahun-tahun, berabad-abad, tanpa rasa jemu dan bosan.

Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski itu tidak mudah. Sebab ia ’kan tatap tegar bara mentari yang terus menyala setiap siangnya. Sebab ia ’kan meliuk halangi angin yang bertiup kasar. Sebab ia ’kan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir. Sebab ia ’kan hujamkan akar yang kuat untuk menopang. Sebab ia ’kan menahan gempita hujan yang coba merubuhkan. Sebab ia ’kan senantiasa berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan. Sebab ia ’kan berikan tempat bernaung bagi burung-burung yang singgah di dahannya. Sebab ia ’kan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya.

Menjadi paus-lah, meski itu tidak mudah. Sebab dengan sedikit kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera. Sebab besar tubuhnya ’kan menakutkan musuh yang coba mengganggunya. Sebab sikap diamnya ’kan membuat tenang laut dan seisinya.

Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak mudah. Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit. Sebab ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya. Sebab ia harus melawan angin yang menerpa dari segala penjuru. Sebab ia harus mengangkasa jauh tanpa takut jatuh. Sebab ia harus kembali ke sarang dengan makanan di paruhnya. Sebab ia harus menukik tajam mencengkeram mangnsa. Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan kepak sayapnya yang membentang gagah.

Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia ’kan tebar harun wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya.

Menjadi mutiara-lah, meski itu tak mudah. Sebab ia berada di dasar samudera yang dalam. Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-tangan manusia. Sebab ia begitu berharga. Sebab ia begitu indah dipandang mata. Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan yang hitam.

Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula. Sebab ia harus melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini. Sebab ia lalui semedi panjang tanpa rasa bosan. Sebab ia bersembunyi dan menahan diri dari segala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba saat untuk keluar.

Karang akan hadapi hujan, terik sinar menatri, badai, juga gelombang.

Elang akan menembus lapis langit, mengangkasa jauh, melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan bentangan sayapnya.

Paus akan menggetarkan samudera hanya dengan sedikit gerakan.

Pohon akan hadapi petir, deras hujan, silau matahari, namun selalu berusaha menaungi.

Melati ikhlas ’tuk selalu menerima keadaannya meski tak terhitung pula bunga-bunga lain dengan segala kecantikannya.

Kupu-kupu berusaha bertahan, meski saat-saat diam adalah kejenuhan.

Mutiara tak memudar kelam, meski pekat lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang.

Tapi karang menjadi kokoh dengan segala ujian.

Elang menjadi tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi bermilyar kilo bentangan cakrawala.

Paus menjadikuat dan besar tubuhnya dalam luas samudera

Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu gangguan.

Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang , justru terlihat indah dengan segala kesederhanaan.

Mutiara tetap bersinar dimanapun ia terletak, dimanapun ia berada.

Kupu-kupu hadapi cerah dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian.

Menjadi apapun dirimu...., bersyukurlah selalu. Sebab kau yang paling tahu siapa dirimu. Sebab kau yakini kekuatanmu. Sebab kaku sadari kelemahanmu.

Jadilah karang yang kokh, elang yang perkasa, paus yang besar, pohon yang menjulang dengan akar menghujam, melati yang senantiasa mewangi, mutiara yang indah, kupu-kupu, atau apapun yang kau mau. Tapi, tetaplah sadari bahwa kita adalah hambNya.....

Sebuah tausiyah dari seorang teman saat hati ini gundah, putus asa, merasa tak berarti di mata seseorang karena merasa orang yang lain lebih dari kita, merasa tak dicintai. Padahal apalah arti pandangan dan cinta manusia, yag terpenting adalah kita di mata Allah. Bisa jadi kita atau orang lainlah yang lebih mulia di mata Allah.”

Refleksi Kartini dan tauladan muslimah lainnya, buat diriku

Awalnya, ima nulis ini bukan berarti ima lebih tahu, bisa ataupun lebih baik. Akan tetapi, semoga dengan ima menuliskan semua ini, bisa juga jadi bahan renungan, bahan pelajaran buat ima...yang akhir-akhir ini sedang gundah, sedih, dan semoga bisa jadi penenang hati.

Sepekan yang lalu...bangsa kita diingatkan kemabli pada momen hari Kartini. Pengajian tadi sore mengingatkanku akan contoh muslimah-muslimah yang jauh lebih dari Kartini pada jaman Rasulullah dahulu. Maksudnya, sifat dan tauladan yang patut kita contoh, bahkan justru jauh lebih baik dari Kartini.

Yang pertama sosok Khadijah, tentunya kita sudah sering tahu lewat sirah Nabi. Khadijah adalah orang yang tegar, mandiri, sabar, berpendirian teguh, mendukung keIslaman Rasulullah dan berIslam (keimanan yang tinggi), berjuang dalam dakwah bersama Rasulullah...subhanallah dan masih banyak lagi yang tidak cukup rasanya jika kita akan menggambarkan begitu istimewanya sosok Ibu umat muslim ini.

Yang kedua Fatimah, putri Rasulullah yang begitu sederhana. Mau menerima Ali yang tidak berharta, tangannya kasar menumbuk gandum untuk makan. Dalam segala keterbatasan finansial dia mampu tegar dan tetap berjuang dalam Islam.

Ketiga adalah Asiah istri Firaun. Allah memberikan hidayahNya pada seorang istri penguasa yang kafir dan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Di tengah tekanan itu, dia tetap teguh pendirian akan keimanannya pada Allah Tuhan Musa. Bayangkan jika kita pada kondisi itu, suami kita orang seperti Fir’aun, mungkin kita akan kalah, sedangkan Asiah begitu tegar dan tetap beriman.

Keempat, Maryam. Kendati pun dia mempunyai anak dengan tanpa suami, akan tetapi tetap bisa mempertahankan kehormatannya. Begitu tegar, melahirkan hanya sendirian. Menghadap kelahiran, kemudian dibantu oleh Allah dengan pohon kurma...begitu mempunyai kekuatan untuk tetap mengemban amanah Allah dalam kandungannya agar selamat dan kemudian melahirkan seorang nabi.

Kelima...dengan tidak bermaksud mensejajarkan, seorang Kartini. Seorang perempuan pada masa itu yang sudah mempunyai pemikiran visioner, kritis, dan berusaha memberikan kemajuan bersama. Dulu, pemikirannya untuk menterjemahkan Al Qur’an ditentang oleh ustadznya karena dianggap nyeleneh. Tapi kemudian Ustadznya tersadar bahwa masyarakat indonesia pada masa itu tidak bisa ataupun kesulitan memahami Al qur’an jika kita tidak tahu bahasanya. Bagaimana akan mengamalkan jika isinya saja tidak dimengerti. Sampai pada hari pernikahannya dia mendapatkan hadiah sebuah terjemahan Al qur’an dari ustadznya. Ini membuktikan bahwa pemikiran seorang Kartini adalah pemikiran seorang pahlawan, yang perjuangannya patut kita contoh .

Allah memberikan kita kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pahlawan. Dalam QS Al Balad disebutkan akan kesempatan kita, Allah menunjukkan jalan fujur atau taqwa...tinggal mana yang akan kita pilih. Kesempatan ini diberikan Allah pada semua hamba-Nya. Apalagi di tengah segala kemudahan pada jaman sekarang yang telah Allah berikan, rasanya tidak ada alasan jika kita tidak bisa melakukan apa-apa.

Pada sebuah kisah, seorang yang memberikan minum pada seekor anjing yang kehausan pun adalah seorang pahlawan. Padahal itu hal yang sepele sepertinya di mata kita. Tapi kalau ada kisah seseorang yang ngasih uang ke pacarnya karena dompetnya ilang dan pacarnya itu butuh uang buat bayar TA kuliahnya pahlwan juga bukan ya? Kayaknya sepele di mata kita, tapi wallahu a’lam sih. Akar kesalahannya pada bagian ”pacar”nya itu. Kan kalo di hadits 1 arbain, apa yang kita lakukan, jika untuk wanita ya...yang kita dapet wanita itu. Tapi wallahu a’lam bi showab sih...Allah kan yang menilai semuanya. Semoga harta itu tetap berkah bagi yang memberi dan menerima ketika kemudian mereka menyadarinya di kemudian hari.

Terakhir...semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi. Alah memberikan kepada kita begitu banyak kenikmatan dan kemudahan atas segala hal. Semoga sebagai muslimah, perempuan, kita bisa beramal seoptimal mungkin dengan potensi yang kita punyai.

Wallahu a’lam bi showab

Kamis, 24 April 2008

Sebuah Renungan, semoga bisa diambil hikmahnya

Beberapa menit yang lalu, ima baru saja chatting dengan teman. Teman yang ketika kuliah begitu kukenal, absen berdekatan, kost sempat bareng...jadi teringat masa2 kuliah dulu. Sekarang kami semua sudah beranjak lebih tua...lebih dewasa seharusnya. Kami sudah sama2 berkeluarga...punya anak. Beberapa bulan ini kami sering curhat2an. Curhat inilah yang membuatku kemudian merenung dan mempertanyakan pada diriku apakah aku sudah cukup bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadaku. Sedangkan aku masih sering mengeluh...masih sering merasa menderita...sakit hati...padahal temanku itu...ya Allah, semoga Allah senantiasa memberikan ketabahan dan kesabaran kepadanya. Ceriat berawal ketika kami sudah cukup lama tak berkomunikasi...tau2 dapat kabar anak pertamanya kritis di rumah sakit dan waktu itu dia sedang hamil 7 bulan anak yang kedua. Akhirnya anak pertamanya tak tertolong dan meninggal dunia. Dia mulai bermasalah dengan suaminya. Suaminya tak bekerja...dan tak cukup intens memperhatikan istri dan anaknya yang pada waktu itu begitu membutuhkannya. Aku membayangkan...bagaimana dia harus membayar biaya RSnya?Beberapa bulan kemudian, anak keduanya lahir. Anak pertamanya lahir caesar...jarak anak kedua 1 tahun lebih sedikit, seharusnya anak kedua lahir dengan caesar karena masih beresiko tinggi. Terbayang biayanya berapa lagi...sementara suaminya tak bekerja, tak memperhatikannya. Sampai pada hari kelahiran tiba...Allah maha penolong atas hambaNya...anaknya lahir dengan normal, sehat dan gemuk 3,85 kg!!! dan ibunya pun selamat. Nekat juga batinku, tak menyangka kalau dia akan seberani itu melahirkan normal padahal resikonya tinggi sekali. Sekarang anaknya sudah seusia Silmi, 6 bulan kurang lebih. Dan dia harus menghadapi kehidupan bersama anaknya tanpa suami, karena semenjak anak pertamanya meninggal suaminya entah dimana...tak pernah muncul batang hidungya..tak juga nafkah yang diberikan. Beberapa bulan lalu pula...dia sempet bingung apakah perkawinannya akan dia pertahankan dengan kondisi seperti ini? tak tentu arah...tak ada tanggung jawab. Tapi bagaimana jika bercerai...anak baru saja lahir, usia juga tak beda jauh denganku? semuda ini sudah gagal menapaki bahtera rumah tangga. Ya Allah...aku tak bisa berkata apa2 lagi ketika saat ini dia curhat kepadaku. Aku tak mampu membayangkan kepedihan hatinya. Tapi hidup harus terus berjalan. Masa depan masih panjang, anak2 kami masih kecil. Hari ini dia sedang berusaha melamar pekerjaan sendiri, agar bisa hidup mandiri. Rasanya ingin membantu...tapi bagaimana, aku pun tinggal bermil2 jauhnya. Aku mungkin hanya bisa berdoa, dan semua ini membuatku harus memperbaiki kesyukuranku pada Allah atas kondisiku sekarang. Allah memberi ujian sesuai kadar keimanan hambaNya. Dan aku takut jika aku tak mampu bersyukur...maka.......tak berani kulanjutkan.. Aku kadang masih sering mengeluh... sering merasa sakit hati dan tidak puas atas apa yang ada dihadapanku, padahal itu sudah lebih dari cukup...(Alhamdulillahhirobbil 'alamin....)