Wah....berhubung ayahnya Silmi udah posting, ima jadi berani postingin nih....jadi malu. But it's make me happy n terharu di miladku kemarin. Sekedar sharing bahagia pada semua n membuat sebuah kenangan di blog ima ini.
“Siapakah gadis berjilbab putih itu?”
Pertanyaan itu menggelayuti perasaanku setiap aku melewati depan kelasnya. Seorang gadis yang membuat hati ini terbang terombang-ambing angin sepoi-sepoi bagaikan layang-layang. Setiap aku menatap wajahnya, ia menampakkan paras cantik dan santun lembut seorang muslimah. Tak diragukan karena dia selalu membasuh wajahnya dengan air wudlu setidaknya lima kali dalam sehari.
Dia berbeda dengan kebanyakan gadis sebayanya. Saat gadis lain berlomba-lomba mempersolek tubuh mereka, dia justru menutupi tubuhnya pakaian yang longgar. Ketika gadis lain menggeraikan rambut indah mereka laksana menggelar sebuah selendang sutra, dia malah menyembunyikan mahkotanya dengan selembar kain, yang panjangnya hingga menyentuh pinggangnya. Dan itulah jilbab putih itu.
Aku rasa bukan aku saja yang bertanya-tanya tentang dia. Banyak teman-temanku yang penasaran akan dirinya. Dialah siswa terpandai di kelasnya. Dia datang tanpa dinyana-nyana, from down to beyond, seperti hujan yang seketika turun dari langit, tanpa ada awan gelap yang mengantarnya.
Dan, aku hanya bisa memalingkan muka saat mata ini dipaksa harus menatap rona wajah ayunya. Aku takut apabila perasaan ini membuncah dalam jiwa, sedang aku hanyalah anak berumur 12 tahun yang baru mulai berani menantang hidup.
Beberapa tahun kemudian, aku mulai mengenalnya. Gadis berjilbab putih itu kini menjadi sahabatku. “Your sweetest friend”, dia menyebut dirinya sendiri untukku. Hmmm, kamu benar. Aku memang tidak pernah mempunyai sahabat semanis kamu. Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, “Apakah kau berikan sebutan itu pada diriku sendiri, atau juga untuk orang lain?”. Aku berharap sebutan itu hanya untukku seorang, sahabat termanisku.
Semakin aku mengenalnya, semakin besar pula rasa simpati dalam hati ini. Tutur katanya, tingkah lakunya, kecerdasannya, canda tawanya, dan yang paling tak bisa kuungkapkan adalah senyum manisnya. Sebuah keindahan pelangi terbalik yang dibentuk oleh sepasang bibir tanpa lipstik yang mengapit sebuah lisan yang cinta dengan bacaan Al Quran dan dzikir. Hanya satu yang tidak bisa aku dapatkan, adalah tatapan bening matanya. Saat aku tergoda untuk menatapnya, dia selalu menundukkan pandangannya.
Astaghfirullah, tak seharusnya memang aku mengaguminya seperti ini. Apalah artinya seorang aku ini. Aku hanyalah seorang anak muda yang baru mengenal dunia. Aku tidak sebanding dengan dirinya, atas ke-sholehah-annya, atas kecerdasannya, atas kebaikannya. Tolong, bangunkan aku dari mimpi indah ini!
Apakah ini yang disebut cinta? Ketika kedamaian mengalir dalam hatiku ketika aku menatap wajahnya. Ketika aku merindukannya saat aku membutuhkan seseorang untuk memberikan semangat. Ketika dia selalu hadir, dengan segala hikmah yang ada dibalik setiap peristiwa yang aku alami. Wahai, gadis berjilbab putih, sadarkah engkau bahwa selama ini kau telah menyemaikan benih-benih cinta di hati ini?
Beberapa tahun kemudian, akupun harus berpisah dengan gadis berjilbab putih itu, sang dambaan hatiku. Aku mengembara mencari jalan kehidupanku sendiri, begitupun ia. Meskipun terpisah jarak, namun aku tak begitu saja memutus tali silaturahim padanya. Surat demi surat terkirim untuknya, melintasi jarak ratusan kilometer, hanya untuk menanyakan kabar dirinya. Ketika kuterima surat balasan darinya, tergetar hati ini saat kubuka amplop suratnya. Sebuah selembar kertas putih bertuliskan curahan hatinya, dan tak lupa dia menuliskan seuntai kalimat penutup yang selalu aku rindukan di tiap suratnya,“your sweetest friend”.
Ketika hati ini gundah, dia selalu hadir kata-kata indahnya. Walaupun raganya tak berada disampingku, aku selalu merasa dekat dengannya. Dalam hati ini ingin sekali aku bertanya, “Oh, gadis berjilbab putih, maukah kau selalu mendampingiku di sepanjang hidupku?”. Kuharap suatu saat nanti lisan ini mampu mengutarakan pertanyaan itu kepada dirinya.
Waktu demi waktu berlalu, tanpa terasa usiaku bertambah. Dengan kata lain, bahwa sisa hidupku menjadi berkurang. Aku yang kini menginjak dewasa, mulai merasakan pahit getirnya kehidupan. Aku merasa membutuhkan pendamping hidup. Seseorang yang mampu memberikan rasa tentram di hatiku. Seseorang yang dapat mencurahkan kasih sayangnya hanya kepadaku. Seseorang yang bisa menggenapkan separuh agamaku.
Istikharah demi istikharah aku jalani untuk mendapatkan ketetapan yang terbaik dari Allah. Dan subhanallah, Allah menunjukkan kebesarannya. Allah mempertemukanku pada gadis berjilbab putih, sang dambaan hatiku. Tanpa ragu aku mengutarakan niatku untuk mengkhitbahnya, membuka jalan ke arah pintu gerbang kehidupan yang baru dalam ikatan pernikahan yang suci. Dan dia bersedia menjadi istriku.
Empat belas Januari dua ribu tujuh, ijab kabul pun terucap. Sebuah janji suci untuk selalu hidup bersama, saling mencintai dengan tulus, saling mendampingi dalam suka dan duka, mengikat dua hati menjadi satu dalam naungan Allah SWT. Gadis berjilbab putih itu kini telah menjadi istriku, dan kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku.
Bersamanya aku lalui hari demi hari dengan indahnya. Bersamanya aku membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah. Bersamanya aku mendidik buah hati tercinta agar kelak menjadi anak yang sholehah, penerus perjuangan kita. Bersamanya aku gapai ridlo Allah agar tetap dapat bergandengan tangan dan menapaki jejak-jejak langkah beriringan di surga-Nya.
Terimakasih, wahai Gadis berjilbab putihku. Terimakasih, wahai sahabat termanisku. Terimakasih, wahai Ima Nurhikmah. Jazakillahu khoiron katsiron, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang melimpah.
Ad Dawhah, 15 November 2008
Sehari sebelum usiamu genap 24 tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar